Selasa, 04 November 2014
My Cerpen :o

Aku tak mengerti.. Tak
akan pernah mengerti karena aku sendiri tak pernah merayakan Natal. Ibuku sudah
meninggal sedangkan ayahku.. Cih, boro-boro merayakan Natal dengannya,
mengobrol saja kami sangat jarang. Beliau lebih sering menghabiskan waktu dengan
alkohol dan pulang larut malam. Beliau tak pernah bertanya tentang apa yang aku
rasakan, aku pikirkan. Aku.. kesepian.
Sampai akhirnya, setelah
lulus SMA, aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Melakukan apa yang aku
inginkan dengan uang hasil jerih payahku bekerja paruh waktu. Sudah cukup aku
merasakan kesendirian ini. Sudah cukup. Setelahnya, aku tak pernah pulang ke
rumah.
Sama sekali..
***
Menikmati sepotong kue
ditambah secangkir teh hangat di pagi hari yang dingin. Beginilah caraku
memulai cuti natal yang diberikan perusahaan padaku. Ah, sudah lama aku tak
sesantai ini. Ketika aku sedang menikmati kedamaian di pagi hari ini, telepon
apartemenku berbunyi. Terpaksa, aku berjalan dengan langkah gontai untuk
mengangkat telepon.
“Halo?” kataku dengan suara
berat, malas.
“Halo, Tn. Takayoshi.
Saya resepsionis apartement. Ingin mengkonfirmasi ada seseorang yang ingin
bertemu dengan anda. Namanya, Shena. Apa benar anda mengenalnya?”
Beberapa detik kemudian,
aku terdiam. Berpikir lama sekali. Mana pernah aku mempunyai kenalan bernama
Shena?
“Siapa dia? Aku tidak
mengenalnya.”
“Anda sudah yakin? Tidak
mengenal Shena?”
Sekali lagi, aku
berusaha mencari nama ‘Shena’ di dalam memori otakku sampai terbesit sesosok
anak perempuan kecil yang sedang berusaha menghiburku sampai membuatku tertawa
lepas. Lepas sekali. Dia.. sahabat masa kecilku!
“Ah! Aku tahu.. Aku
mengenalnya. Suruh dia tunggu disana. Biar aku yang jemput dia disana.” Sahutku
mengakhiri percakapan dan segera berganti pakaian.
Shena.. Lama kita tidak
bertemu. Aku merindukannya. Namun, aku tak punya kesempatan untuk mencari kabar
tentangnya. Aku tak percaya. Dia berhasil menemukanku dari sekian banyaknya
penduduk imigran di Paris.
Tak sabar, aku keluar
lift dengan tergesa-gesa dan menemukan sosok perempuan berambut panjang
sepunggung, berkulit putih, tinggi, cantik. Dia menyambutku dengan lambaian
tangan dan seringaian yang lebar. Oh.. dia masih sama seperti dulu.
“Shena..” kataku dengan
mata yang berbinar-binar. Sudah lama aku merindukan pertemuan seperti ini.
“Bagaimana kamu bisa menemuiku disini?”
“Mmm.. Ada deh. Nggak
susah kok mencari imigran dari Jepang tapi bertampang bule seperti kamu,
Yoshino-Kun.”
Yoshino-kun. Sudah lama
aku tak dipanggil dengan sebutan Jepang itu.
“Bagaimana kalau kamu
aku ajak makan di luar? Shena-Can.” Kataku nyengir.
Tak perlu menunggu lama, dia langsung
menganggukkan kepalanya. “Sekalian. Ada yang perlu aku bicarakan.”
***
Menanyakan kabarku?
Hhh.. Hal mustahil. Dia
tak mungkin menanyakan kabarku, dia tak mungkin memikirkanku apalagi
mengharapkan aku kembali ke rumah bersamanya. Malah kalau bisa, aku tidak usah
pulang saja. Ayahku… Kurasa sekarang ini dia membenciku. Sangat…
Aku tertawa kecut
mendengar perkataan Shena yang kuragukan kebenarannya, “Selera humormu tinggi
juga ya,” kilahku sembari menenggak secangkir vanilla latte yang kupesan.
Tegas. Shena menggeleng,
“Aku tidak bercanda, Yoshi. Aku serius. Ayahmu sangat merindukanmu. Sangat,
Yoshi.. Setiap hari dia duduk di teras rumah, menunggumu kalau-kalau kamu
datang ke rumah dengan wajah murung. Setiap hari, Yoshi.. Setiap hari..”
Shena menekan beberapa
kata yang membuat hatiku memberontak. Menolak. “Untuk apa dia melakukan hal
seperti itu? Seharusnya, dia tahu bahwa aku tak akan pulang ke rumah.”
Jari-jari Shena
menggenggam erat pegangan cangkir teh yang sedari tadi belum juga ia minum.
Kepalanya menunduk dalam. Dia menggigit bibirnya sendiri. Tak beberapa lama
kemudian, dia terisak kecil. “Tentu saja dia melakukan itu! Karena.. Karena
kamu adalah ‘sesuatu’ yang harus dia lindungi, ‘sesuatu’ yang harus dia jaga,
‘sesuatu’ yang sangat ia cintai.”
Kedua mataku membelalak
kaget. Tertegun. Rahangku mengeras, tak tahu harus berkata apa lagi.
“Pulanglah.. Ayahmu
masih menuunggumu sampai sekarang ini. Detik ini. Dia pasti akan sangat senang
kalau kamu datang ke rumah. Sekali saja untuk Natal ini.” Shena melanjutkan
perkataannya lagi. Kali ini, aku bisa melihat air mata membasahi kedua pipinya.
Aku menarik napas panjang. Mengapa Shena ingin sekali aku pulang ke rumah?
Aku memijit dahiku
dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Baiklah, aku akan pulang.” Putusku pada
akhirnya dengan terpaksa.
Shena berhenti menangis.
Dia menatapku lekat-lekat. “Benarkah?”
Aku mengangguk malas.
Dia tersenyum tipis dengan air mata yang masih basah. “Arigatou gonzaimasu,
Takayoshi-kun..”
Aku memaksakan diriku
untuk tersenyum. Kemudian, Shena bangkit berdiri dan berpamitan padaku. “Sudah
jam 12 siang. Aku harus pergi ke bandara sekarang. Terima kasih sekali lagi
kamu sudah mau mendengarkanku.”
“E-eh, perlu aku antar?”
kataku menawarkan diri.
Shena menggeleng,
“Tidak. Terima kasih. Sampai jumpa, Takayoshi-kun. Aku menunggumu di Jepang.”
Kemudian, aku melihat
tubuh mungilnya pergi melewatiku dan menghentikan taksi di depan. Memberikanku
lambaian tangan lalu pergi.
Sementara aku. Aku tidak
langsung beranjak dari tempat duduk. Sejenak, aku mencerna semua perkataan
Shena. Ternyata, penyakit kesotoyan-nya itu belum hilang sejak dulu. Dari
kecil, ia memang selalu memberitahukanku tentang hal-hal baik yang ayah
pikirkan tentangku. Namun, aku selalu menyangkalnya dan tertawa kecil. It’s
just in your imagination, my best friend. Just only in your imagination.
Bagaimana bisa aku
mempercayainya jika setiap aku pulang ke rumah, kesunyianlah yang pertama kali
menyambutku. Tidak ada kata-kata sambutan yang manis seperti yang biasanya
orangtua katakan pada anaknya setiap pulang ke rumah. Aku selalu menerima
penghargaan tanpa ucapan selamat atau apapun dari ayah. Ayah sibuk dengan
dunianya sendiri. Hingga akhirnya, aku merasa tidak dihargai lagi olehnya
bahkan aku sempat meragukan statusku sebagai anak kandungnya. Tahun demi tahun
kucoba untuk bertahan. Melalui semua itu bersama ayah. Akan tetapi, beliau tak
kunjung berubah. Malah, aku semakin merasa kesepian.
Hingga akhirnya, pada kelas 2 SMA, aku
memutuskan untuk mencari kerja sambilan. Menabung uang supaya bisa kujadikan
biaya hidup ketika aku pergi dari rumah ayah nanti dan mewujudkan apa yang aku
cita-citakan. Sampai akhhirnya, aku menemukannya.. di sini.. di kota Paris.
Setelahnya, aku tak pernah pulang dan memang aku tak pernah berencana untuk
pulang ke rumah. Aku benci dia…
***
Aku tak percaya. Aku
benar-benar melakukan ini. Hal yang dulunya tak pernah sedikit pun terbesit di
benakku.
25 Desember. Aku kembali
ke Jepang…
Keluar dari bandara dan
melihat keadaan kota Tokyo. Sungguh, 7 tahun aku di Paris, kota ini telah
melakukan banyak perubahan. Membuatku yang selama 18 tahun telah dibesarkan di
Jepang ini merasa asing di tanah kelahirannya sendiri. Kuhirup udara
dalam-dalam. Ah.. Bau ini.. Bau yang sudah lama tak kuhirup.
Akan tetapi, tujuanku ke
sini bukan untuk memperhatikan antara persamaan dan perbedaannya keadaan Jepang
yang dulu dengan yang sekarang. Aku kembali untuk Shena. Ya, untuk Shena bukan
untuk ayah. Aku berdiri mematung di pinggir jalan raya, menunggu taksi kosong
yang bisa kutumpangi. Sampai akhirnya, aku menemui seorang nenek sedang
berjalan menghampiriku. Memakai kimono yang warnanya sudah memudar, beliau
tersenyum menyapaku.
“Anata wa machigainaku
Takayoshi-kun. Hisashiburi.” Sapanya begitu kami sudah berdekatan. Beliau
menunduk dan aku pun mau tidak mau ikut menunduk memberinya hormat. Ah, sudah
lama aku tak melakukan norma kesopanan ala Jepang seperti ini.
“Anata dare?” tanyaku
bingung dengan alis yang mengkerut. Untung saja, 7 tahun di Paris tidak
membuatku lupa dengan bahasa Ibu.
“Hahaha.. Doyara, anata wa mada Nihon no moto o
hanasu koto ga dekiru? Watashi no namae, Furuno Fuko. Watashi wa anata no
chichi, Furuno Yoshino no hahadesu.”
***
Aku turun dari taksi
bersama dengan nenekku, Furuno Fuko. Aku tak mengerti kenapa beliau membawaku
kesini dan bukan langsung ke rumah. Mengekori nenek dengan langkah yang loyo.
Tak bersemangat. Kami sekarang berada di Jepang bagian utara. Udara sangat
dingin. Musim salju. Aku berjalan sembari melihat lingkungan di sekitarku.
Tunggu dulu! Aku merasa familiar dengan ini. Tapi, apa pernah dulu aku kesini?
Nenek menghentikan
langkahnya secara tiba-tiba. Tatapannya memandang ke arah padang bunga yang
telah diselimuti oleh salju di samping kami. “Sayang bunganya tertutup salju.
Padahal, bunga-bunga itu sangat indah. Kamu juga sewaktu kecil senang bermain
disini loh…”
Aku tersentak. Itu
artinya aku memang pernah kesini. Tapi, kapan? Sementara aku masih bertanya-tanya,
nenek mengajakku duduk di sebuah pondok kecil, di tepi padang bunga. Mau tak
mau aku mengikutinya. Sejenak nenek tersenyum, masih dengan kedua mata yang
memandang padang bunga itu. “Pertama kali kamu kesini ketika musim panas.
Ingat?”
Tiba-tiba, sebersit
bayangan pun muncul di dalam otakku. Aku seperti melihat padang bunga itu
sewaktu musim panas, indah dengan bunganya yang berayun-ayun tertiup angin,
disana aku tertawa lepas. Sangat bahagia. Berlari kesana dan kemari tanpa
menghiraukan rumput panjangnya yang bisa saja menyembunyikan hewan reptil
mengerikan. Entahlah… Aku tak tahu kenapa aku bisa berani seperti itu.
Mengingatnya aku jadi tersenyum sendiri.
“Tepatnya, setelah ibumu
meninggal.” Lanjut Nenek. Membuat senyumanku memudar begitu saja. “Tapi, nenek
salut sama kamu. Kamu masih ceria seperti biasa, tegar. Buktinya kamu masih
bisa bermain disini dengan tertawa lepas.” Puji nenek dengan menyunggingkan
senyum dan menepuk pundakku sesaat.
Benar juga. Pada saat
ibu meninggal, aku hanya menangis pada hari itu. Namun, setelahnya, aku kembali
ceria, seperti tidak terjadi apa-apa.
“Takayoshi-san…” panggil
nenek.
“Ya?”
Nenek menghela napas
sejenak, “Apakah kamu pikir ayahmu itu buruk?”
Mengingat semua yang
telah ayah lakukan untukku. Mengacuhkanku, selalu sibuk dengan dunianya sendiri
tentu saja tanpa berpikir panjang aku menjawabnya, “Ya..”
Lagi, nenek menghela
napasnya. Kali ini lebih panjang. “Setelah kematian ibumu, ayahmu menjadi putus
asa karena kehilangan salah satu orang yang paling dia cintai. Akan tetapi, dia
tidak bisa terus putus asa sebab dia tahu bahwa ada satu orang lagi yang paling
dia cintai masih bersama dengannya, membutuhkan kasih sayang orangtua, dan
membutuhkan bimbingan untuk bisa menjadi pria sejati. Orang itu adalah… kamu.”
Aku tersentak kaget
dengan kedua mata yang membulat lebar. Aku ingin mengelak perkataan nenek namun
rasanya rahangku menjadi kaku, sulit untuk digerakkan. Entah kenapa, hatiku
rasanya seperti mengatakan suatu pembenaran.
“Pada hari itu, ayahmu
berjanji pada nenek akan membuatmu menjadi pria yang kuat, yang ceria juga
sehat dan supaya kamu bisa meraih semua cita-citamu. Dan, sejak itulah, ayahmu
berjuang paling keras seumur hidupnya. Dia keluar dari pekerjaannya yang
bergaji besar untuk mencari pekerjaan lain yang memiliki banyak waktu luang.
Agar dia bisa menjagamu, menemanimu. Dia selalu membelikanmu mainan dan makanan
dengan uangnya yang sedikit dan menabung sisa uang yang dia miliki untuk
pendidikanmu. Sedangkan ayahmu? Dia hanya makan setelah kamu makan sampai
kenyang.” Cerita nenek.
Aku menundukkan kepala
dalam-dalam. Kenangan-kenangan masa kecilku dulu bersama ayah seperti berputar
kembali. Mainan, jajan, cinta, kebahagiaan, tawa.. kenapa aku bisa melupakan
semua itu?
“Dia paling suka natal.
Karena hari Natal adalah hari dimana Yoshino bisa bersama denganmu seharian.
Mengajakmu berjalan-jalan, piknik… Yoshino senang bisa membuatmu bahagia.
Namun, lambat laun kondisi seperti itu juga membuat Yoshino sangat kelelahan
sehingga Yoshino lari ke alkohol. Hingga akhirnya, ketika kau bertumbuh dewasa,
kabarnya di antara kau dan Yoshino tercipta sebuah jarak. Kalian tak lagi bisa
bersama terus-menerus seperti dulu. Kau terlihat enggan berbicara lagi dengan
Yoshino sehingga Yoshino pun memilih untuk diam karena takut mengganggumu.
Meskipun begitu, dia tetap memperhatikan keadaanmu. Mencintaimu walau hanya
dalam diam. Dia senang bisa melihatmu tumbuh semakin dewasa, semakin tampan dan
semakin pintar. Kau tahu? Dia selalu membanggakanmu dengan para tetangga, pada
nenek.”
Aku masih diam. Tak
sanggup berkata-kata lagi sementara nenek masih bercerita panjang lebar, otakku
terus saja memutar bayangan ayah yang menyanyangiku dengan tulus, mencintaiku
dengan sepenuh hati. Jadi.. Jadi itulah alasannya kenapa tetanggaku bisa tahu
prestasiku, memberiku ucapan selamat dan pujian padahal aku tak pernah
menceritakannya pada mereka. Karena… Karena ayah. Karena ayah yang
menceritakannya pada mereka. Dengan sorot mata yang penuh dengan kebanggaan,
kebahagiaan. Aku.. Aku telah salah menilainya.
“Sampai akhirnya, ketika
kau pergi meninggalkan rumah. Hari-hari Yoshino dipenuhi dengan kesedihan, rasa
kesepian, kehilangan. Dia menunggumu… Dia menunggu berita tentang kesuksesanmu.
Dia percaya kamu akan pulang.”
Air mata yang sedari
tadi sudah mengalir menjadi bertambah deras. Aku menjambak rambutku kuat-kuat.
Cukup! Cukup… Semakin banyak kenangan-kenangan hitam putih yang muncul dalam
pikiranku, semakin terasa menyakitkan. Menyesakkan.
Sekarang, tanpa diberi
tahu, aku sudah tahu sendiri jawabannya atas pertanyaanku yang tadi. Mengenai
kenapa aku berani berlarian di tengah rumput yang tinggi tanpa takut ada hewan
yang bisa melukaiku atau kenapa aku begitu kuat menerima kepergian ibu.
Itu semua karena aku
masih memiliki ayah. Ayah yang tidak pernah membiarkanku terluka. Ayah yang
selalu berusaha membuatku kuat, tegar dan bisa kembali ceria seperti sedia kala
walaupun ayah sendiri sedang putus asa, sedih, kecewa, lelah, namun dia tak
pernah membiarkanku melihat itu semua darinya. Tak akan pernah…
“Dan, sekarang, apakah
menurutmu Yoshino adalah ayah yang buruk?”
Kali ini, aku tidak
punya alasan lain. Jawaban lain selain dengan menggelengkan kepala. Tidak..
Ayah terlalu baik. Aku telah menjadi anak yang sangat buruk untuknya.
Tak beberapa lama
kemudian, nenek pun ikut terisak. Beliau menepuk pundakku dan lalu berkata,
“Takayoshi-san, terima kasih.. Terima kasih.. Setidaknya, kau telah membuat
ayahmu bahagia mendengarnya.”
DHEG!
Ayah? Jadi, ayah ada disini?
Dimana dia sekarang?
“Takayoshi-san..”
panggil nenek sekali lagi.
“Apa?”
“Ayahmu.. sudah meninggal sebulan yang lalu.”
***
Aku bangkit berdiri di
depan dupa ayah sebagai penghormatanku kepada ayah. Disini, di ruangan yang
sudah aku dan nenek dekorasi menjadi ruangan penuh nuansa natal Ada rasa
penyesalan teramat dalam juga kesedihan yang tak kalah mendera. Tepat di hari
Natal ini, aku mengingat kembali akan semua yang telah ayah lakukan untukku.
Semuanya..
Kalau boleh, aku ingin
menangis keras. Namun… Aku tak ingin membuat ayahku bersedih. Jika sewaktu ibu
pergi ayah tak mau melihatku menangis apalagi sekarang? Aku berusaha sekuat
mungkin agar air mata itu tak terjatuh.
“Merry Christmas,
Ayah..” ujarku lirih.
Selesai berdoa, nenek
berdiri dan melemparkan tatapannya ke arahku seraya berkata, “Ayo, Takayoshi.
Ikuti nenek sebentar. Nenek ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Tanpa berbasa-basi lagi,
aku menganggukkan kepala dan membuntutinya. Ternyata nenek ingin membawaku ke
kamar ayah. Dibukanya pintu lemari ayah perlahan-lahan sampai terlihat beberapa
tumpukan kado disana. Aku membelalak kaget. Untuk siapa semua itu?
“Takayoshi, selamat hari
natal. Ini semua hadiah untukmu dari Yoshino yang telah ia kumpulkan selama 7
tahun. Setiap hari natal, ia membuatkannya untukmu.”
Kemudian, nenek
meninggalkanku sendirian di kamar ayah. Kedua mataku memandang tumpukan kado
itu. Di setiap kado itu terdapat greeting card bertuliskan, “Merry Christmas,
Yoshino.”
Perlahan-lahan, aku
membuka semua kado tersebut dan terkejut ketika tahu bahwa isinya adalah
barang-barang yang pernah kuminta dulu pada ayah namun belum bisa ia turuti
pada saat itu. Tak kusangka, ternyata, ayah masih mengingatnya dan ia
mewujudkannya sekarang dengan gajinya yang sedikit. Semua kado itu dibungkus
dengan sangat rapi menunjukkan kesungguhan dan ketulusan hati ayah pada saat
memberikan hadiah itu untukku.
Ayah… Aku.. Aku ijin
menangis. Sebentar saja.. Untuk terakhir kali.
Tetes demi tetes air mata yang tadi sudah
mengering menjadi basah kembali. Semalaman itu aku menangis. Menangis di kamar
ayah.
Ayah… Beristirahatlah dengan tenang. Dengan
bahagia. Sudah cukup kau merawat anak kurang ajar seperti aku ini. Sudah cukup,
Ayah.. Sudah cukup..
***
“Maafkan ayah, ya… Ayah
sering meninggalkanmu sendirian di rumah. Kau pasti kesepian. Maafkan ayah ya…”
Tubuh mungil anak itu
hanya diam tak bergeming. Muka imutnya dia hadapkan, menatap wajah ayahnya yang
menunduk.
“Ayah punya jajanan.
Nanti, kalau lapar dimakan aja. Tapi jangan banyak-banyak. Nanti sakit perut.”
Dia masih tidak
bergeming. Diam. Menatap ayahnya dalam-dalam.
“Ayah janji. Ayah akan
pulang secepatnya. Nanti ayah akan masak buat makan malam nanti. Kita makan
bersama-sama ya… Oke?”
Beliau pun mengulurkan
tangannya, mengusap rambut anak itu dan meninggalkan anak itu di rumah
sendirian. Dia tidak akan pergi lama-lama. Karena dia tahu ada seseorang yang
paling berharga sedang menunggunya di rumah. Dia tidak akan membiarkan
seseorang itu sendirian. Kesepian..
Jangan sedih. Ayah pergi sebentar. Nanti, kita
akan bersama-sama lagi.
By:Shinta Bakkara :)
Langganan:
Komentar (Atom)